Mengejar LPDP Part XI: Seleksi Substansi - Wawancara
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera, semoga nikmat sehat selalu bersama kita hingga akhir hayat.
Leaderless Group Discussion (LGD) telah saya lakoni di hari pertama seleksi. Kini saatnya menghadapi seleksi inti LPDP: wawancara.
Jadwal wawancara saya ada di hari kedua, pukul 11.00 di kelompok wawancara 15. Sebelumnya, saya harus melakukan verifikasi dokumen pukul 08.10. Jika lolos verifikasi, bisa lanjut ke wawancara. Jika tidak lolos, maka dianggap stop sampai di situ. Itulah sebabnya mengapa verifikasi dokumen selalu dijadwalkan sebelum wawancara, tidak pernah sesudahnya.
Saya berangkat dari rumah pukul 07.30. Di gedung GKN, peserta yang hadir belupom terlalu banyak, tidak seperti hari pertama. Seperti biasa seleksi hari kedua itu dibuka secara resmi oleh panitia yang rupanya awardee beasiswa LPDP. Petugas verifikator dokumen pun ternyata penerima beasiswa LPDP juga.
Sekitar pukul delapan seperempat, saya dipanggil untuk verifikasi. Ada meja panjang di depan yang diisi lima orang verifikator, saya dapat meja di bagian tengah. Petugas verifikatornya masih muda sekali, barangkali seumur saya atau bahkan lebih muda, dan amat ramah. Beliau mengajak berjabat tangan dan memperkenalkan diri sebelum meminta berkas-berkas saya.
Satu per satu berkas saya dilihat dan dicocokkan ke komputer yang ada di hadapan verifikator. Lalu, surat pernyataan bermaterai saya disisihkan, dikumpulkan jadi satu ke map di atas meja.
"Sudah bekerja?" tanya beliau.
"Sudah, mbak. Ini surat izin dari atasan."
"Oh iya, guru ya? Sudah punya LoA?"
"Belum, mbak."
"Oke. Soalnya teman-teman yang sudah punya LoA wajib tandatangan pernyataan bahwa akan mengajukan penundaan kuliah sampai tahun 2019."
Sambil mencocokkan berkas-berkas, verifikator mencontreng setiap kotak pada Lembar Verifikasi yang saya punya. Bagian LoA diberi tanda silang. Lalu, verifikator tanda tangan di lembar verifikasi dan membubuhkan stempel "Verified".
"Sudah, semoga sukses ya...."
"Amiiin."
Sebenarnya saya bisa pulang usai verifikasi itu, lalu datang lagi menjelang pukul sebelas. Toh sekarang masih belum jam setengah sembilan dan hanya butuh lima menit naik motor ke rumah. Tapi saya khawatir kalau ada peserta yang berhalangan hadir sehingga jadwal saya harus maju, atau wawancara berlangsung lebih singkat dari perkiraan sehingga saya sudah dipanggil pukul 10.00, dan sebagainya. Akhirnya saya putuskan menunggu saja di situ. Aman, banyak teman, dan ruangannya nyaman.
Dua jam berlalu dengan cepat. Menjelang setengah sebelas, saya terserang "penyakit nervous" yang sudah lama menghinggap: sakit perut. Sakitnya tidak sekedar mulas-mulas sedikit, tapi mulas yang mirip diare. Dalam waktu setengah jam itu, tiga kali saya bolak-balik ke kamar mandi.
Pukul sebelas sudah lewat dan saya belum juga dipanggil. Di layar besar, terlihat bahwa meja nomor 15 memang lambat sekali pergantian orangnya. Nama peserta yang tertera di situ tetap sama seperti satu jam yang lalu.
Barulah pada pukul 11.15 saya dipanggil. Wawancara dilakukan di lantai satu sayap timur, sehingga saya harus berjalan cukup jauh menyeberang gedung GKN. Setiba di sayap timur, rupanya ada dua ruang wawancara, masing-masing adalah aula yang seukuran ruang Parangtritis. Ruangan sebelah kanan untuk kelompok wawancara 1-10, ruangan kiri untuk kelompok wawancara 11-20.
Saya menuju ruangan di kiri dan melaporkan diri pada dua orang yang berjaga di situ, awardee LPDP juga. Mereka meminta kartu peserta saya dan mempersilakan duduk di kursi nomor 15, pada deretan kursi yang telah diberi nomor 11-20. Selain saya, ada dua orang lagi yang antri wawancara, yaitu kursi nomor 16 dan 18.
"Mbak di meja nomor 15?" tanya mbak panitia.
"Iya mbak."
"Sabar ya, meja 15 itu yang paling lama," katanya sambil nyengir.
Dan benarlah yang dikatakan mbak awardee prodi Pengkajian Amerika UGM itu. Sampai menjelang pukul 12, orang yang diwawancara di meja 15 belum juga keluar. Padahal interviewer yang berada di meja-meja lain sudah keluar untuk makan siang.
"Mbak, kalau yang diwawancara di dalem itu sudah keluar, kita nunggu instruksi interviewer dulu ya. Kalau mereka menghendaki lanjut ya mbak langsung masuk, kalau mereka pengen istirahat dulu berarti mbak nanti diwawancara setelah pukul satu."
Pasrah lah saya. Mau diwawancara sekarang atau harus nunggu satu jam lagi, terserah. Jantung sudah nggak karu-karuan, perut juga tidak bisa diajak kompromi. Di tengah situasi yang tidak mengenakkan itu, peserta dari meja 15 keluar ruangan, dengan ekspresi wajah yang sukar ditebak. Peserta ini, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Halimah, rupanya juga alumni UIN Sunan Kalijaga, jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Sosial dan Humaniora. Mbak Halimah mau mendaftar ke prodi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Kami sempat tukeran nomor WA.
Setelah itu, saya buru-buru dipanggil masuk.
Sambil menjinjing tas, saya masuk ruangan sambil menghela napas. Bismillah, inilah saatnya.
Meja nomor 15 terletak agak di sudut ruangan. Tiga orang interviewer sudah menunggu saya di meja tersebut, membelakangi jendela. Meja-meja yang lain sudah sepi karena para interviewer keluar untuk istirahat. Selain kami berempat, di ruangan itu hanya ada dua orang panitia.
Sesampainya di meja 15, saya lupa mengajak tiga pewawancara saya bersalaman. Salah satu interviewer keburu mempersilakan saya duduk.
Seterusnya, akan saya ceritakan jalannya wawancara dengan format dialog, karena sepertinya narasi akan lebih mudah daripada deskripsi. Percakapan asli saat wawancara tentu tidak persis seperti ini, banyak bagian yang saya singkat atau hanya ditampilkan garis besarnya, tetapi intinya kurang lebih sama.
K = Kurnia Indasah (saya)
IN1 = Interviewer 1. Seorang ibu muda berwajah oriental, berkulit putih, rambut lurus, dan amat sangat ramah. Usia barangkali 35 tahun. Beliau duduk di meja paling kiri, atau sebelah kanan saya.
IN2 = Interviewer 2. Seorang ibu berjilbab, usia sekitar 45 tahun, dan murah senyum. Beliau duduk di meja paling kanan, atau sebelah kiri saya.
IN3 = Interviewer 3. Seorang bapak berusia sekitar 40 tahun, terlihat amat cerdas dan berwibawa. Sepertinya beliau memegang peran antagonis, atau entah hanya perasaan saya yang sedang gugup. Beliau duduk di tengah, tepat di hadapan saya.
IN3: Dengan mbak Kurnia Indasah, betul? Panggilannya apa?
K: Betul, pak. Kurnia, pak.
IN3: Baik, mbak Kurnia. Perkenalkan saya Khabib M******. Sebelah kiri saya ada bu Hendri (atau Andri? entahlah, saya terlalu gugup) dan sebelah kanan saya ada bu .... (saya betul-betul lupa, mohon maaf). Apa mbak Kurnia keberatan kalau wawancara ini kami rekam?
K: Tidak, pak.
IN3: Oke, siapa yang mau bertanya dulu (menoleh kanan kiri). Bu Hendri dulu?
IN1: Saya dulu? Baik. Mbak Kurnia, latar belakang pendidikan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga (saya mengangguk) judul skripsinya dulu Konsep Gender dalam Media Islam Online. Tolong jelaskan persamaan dan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan mbak Kurnia lakukan, yang rencananya akan mengangkat tema (membaca sebentar) tipologi ujaran kebencian di Indonesia.
K: Skripsi saya dulu menyoroti seputar perbedaan tiga website organisasi Islam dalam melihat persoalan perempuan. Tiga media tersebut yakni website NU, HTI, dan JIL. Saya menggunakan analisis wacana kritis dengan pendekatan Teun A. Van Dijk (selanjutnya, saya menjelaskan skripsi saya dalam istilah-istilah teknis keilmuan komunikasi). Sedangkan untuk rencana tesis, saya ingin mengangkat seputar ujaran kebencian berbasis SARA, dalam hal ini ujaran kebencian terhadap presiden Joko Widodo. Berdasarkan yang saya rangkum dari berbagai media, terdapat lima isu SARA yang kerap ditujukan pada presiden, yaitu (sensor). Dari tipologi itu akan saya kelompokkan pelaku ujaran kebencian berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Hasil penelitian ini nanti diharapkan bisa jadi strategi untuk edukasi media digital di masyarakat.
IN1: Platformnya nanti apa?
K: Mohon maaf, bu, platform bagaimana yang dimaksud?
IN1: Media yang diteliti, subyek penelitiannya.
K: Oh, medianya laman Facebook yang nanti difilter berdasarkan kombinasi kata kunci dan durasi waktu tertentu. Saya ada kerangka proposalnya, bu (sambil menyerahkan bendelan 20 halaman ke beliau).
IN1: (Saat itu, beliau terlihat agak terkejut, lalu mulai membuka-buka kerangka proposal saya.) Apa manfaat penelitian ini secara teoretis?
K: Karena di Indonesia belum pernah ada yang melakukan penelitian semacam ini, berarti ada kemungkinan saya nanti bisa menelurkan teori baru, bu. Sedangkan di luar negeri sudah banyak yang melakukan penelitian tipologi konten kebencian di internet.
IN1: Siapa, misalnya?
K: Misalnya Imran Awan dari Universitas Birmingham, Inggris.
IN1: Kalau misalnya penelitian ini jadi dilaksanakan, siapa kira-kira yang akan jadi pembimbing tesis mbak Kurnia di UGM?
K: Saya rasa Dr. Novi Kurnia atau Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, bu.
IN1: Anda sudah membaca riset-riset yang dilakukan beliau berdua?
K: Belum, bu, tapi berdasarkan yang saya baca dari profil dosen di UGM, beliau berdua memiliki minat riset yang sama dengan yang akan saya lakukan, yakni seputar media baru dan literasi media.
IN1: (Mengangguk-angguk) Di aplikasi pendaftaran, mbak Kurnia menulis riwayat pekerjaan yang cukup banyak. Apa saja, mbak, boleh disebutkan?
K: Termasuk kerja part time, bu?
IN1: Termasuk part time.
K: (Saya lalu menyebutkan kerjaan saya, sebagian besar di antaranya part time, mulai tahun 2010 sampai 2014 di berbagai tempat).
IN1: Wah, itu sambil mengerjakan skripsi juga ya?
K: Iya bu, sambil skripsi juga.
IN1: Apa pertimbangannya kuliah sambil bekerja? Bagaimana pembagian waktunya?
IN1: Di sini juga ditulis Google Adsense sampai tahun 2018. Sekarang sudah tidak lagi?
K: Sebenarnya masih bu, tapi karena di aplikasi pendaftaran tidak bisa menulis dobel pekerjaan yang dilakukan pada saat ini (pekerjaan on going saya sudah tertulis "guru" di SMK Islam Al-Qomar), jadinya Google Adsense saya tulis sampai 2018 saja.
IN1: Apa saja websitenya, kalau boleh tahu?
K: (Saya sebutkan beberapa web GA saya, termasuk ketika masih jadi content writer).
IN1: (Mengangguk-angguk lagi, lalu menoleh ke IN2 dan melanjutkan membaca bendelan saya.)
IN2: Baik. Mbak Kurnia, di aplikasi pendaftaran Anda menulis sekian capaian yang bisa dianggap sebagai prestasi Anda. Nah, menurut mbak Kurnia, mana prestasi paling besar yang pernah Anda peroleh?
K: Bagi saya, bisa lulus kuliah adalah prestasi terbesar saya, bu.
IN2: Oh ya? Gimana gimana? Tolong ceritakan.
K: (Di sini saya cerita panjang lebar soal kegagalan saya meraih Bidik Misi tahun 2010 lalu, karena ketidaktahuan saya dalam memilih prodi tujuan. Saya lulusan Madrasah Aliyah jurusan IPS, dan dengan pedenya memilih prodi Teknik Informatika di UNY. Bahkan seleksi administrasi saja sudah tak lolos. Saya juga cerita soal beasiswa S1 yang akhirnya saya dapatkan dari Yayasan Sunan Kalijaga Pakuncen dan latar belakang keluarga saya yang masih tergolong prasejahtera. Cerita ini memakan waktu sekitar 10-15 menit. Sambil bercerita, sesekali ibu interviewer yang saya yakini sebagai psikolog ini memberi tanggapan. Agaknya saya didorong ke mood baper gitu, hahaha....)
IN2: Pekerjaan mbak Kurnia sebagai guru, ya? Apa kesibukannya selain mengajar?
K: Saya dan suami membuka usaha advertising dan warung kopi, bu. Selain itu saya juga merintis pendirian Taman Baca Masyarakat di lokasi yang sama dengan tempat usaha. (Setelah ini, interviewer banyak bertanya soal usaha saya, termasuk kendala-kendalanya, caranya mengatasi kendala itu, dan bagaimana usahanya nanti jika saya lanjut studi ke Yogya bersama suami. Lebih terasa seperti bercakap-cakap biasa daripada wawancara.)
IN2: Dari mana mbak Kurnia tahu soal beasiswa LPDP?
K: Saya tahu beasiswa ini sejak 2014 bu, karena dosen saya ada yang menjadi reviewer LPDP pada bidang keilmuan agama. Saya didorong untuk mendaftar beasiswa ini begitu lulus pada 2014, tapi saya merasa perlu pulang dulu ke Yayasan. Akhirnya saya baru daftar tahun ini.
IN2: Apa tujuan mbak Kurnia mendaftar beasiswa ini?
K: Saya berasal dari keluarga kurang mampu, bu, sehingga saya harus mendaftar beasiswa jika ingin lanjut studi ke jenjang S2. Saya ingin menjadi diri saya yang terbaik, the best of me, dengan beasiswa ini. (Ini blunder saya yang pertama. Jawaban yang sebenarnya saya niatkan adalah "saya ingin membekali diri dengan keilmuan yang cukup, agar bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat dan Indonesia".)
IN2: Pertanyaan terakhir dari saya. Apa ekspektasi mbak Kurnia setelah nanti mendapatkan beasiswa ini dan selesai studi?
K: Saya akan kembali ke Yayasan, bu, mengabdi lagi di SMK Islam Al-Qomar sebagai guru produktif Multimedia. Namun jika ternyata sudah ada guru pengganti saya, maka saya akan mempersiapkan diri untuk studi lanjut ke S3. (Ini adalah blunder saya yang terburuk. Interviewer kelihatan kecewa dengan jawaban saya. Padahal jawaban yang sudah saya persiapkan adalah "saya ingin menjadi dosen dan peneliti yang hasil penelitiannya dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan oleh pemerintah, sehingga manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat". Nasib. Setelah pertanyaan ini, bapak interviewer 3 mengambil alih.)
IN3: Oke, mbak Kurnia. Tadi ibu Hendri dan ibu ..... sudah memberikan pertanyaan. Nah, mbak Kurnia, pertanyaan pertama dari saya. Apa inovasi yang telah dilakukan oleh mbak Kurnia selama ini?
K: (Saya langsung mati gaya di sini. Kata "inovasi" membuat saya blank. Akhirnya setelah dua tiga menit terdiam, saya baru menjawab.) Saya tidak tahu ini tergolong inovasi atau tidak, tapi saya akan ceritakan saja pada bapak. (Lalu saya bercerita soal menghidupkan kembali TPA di kecamatan Jatikalen yang mati suri, antara lain dengan menerapkan cara mengaji menyenangkan pada anak-anak, seperti diselingi nonton video, cerita Nabi, dan sebagainya. Padahal, seharusnya saya punya beberapa hal lain yang boleh dikategorikan sebagai inovasi, seperti cara pembelajaran proyek yang kerap saya terapkan di sekolah.)
IN3: Apakah inovasi yang mbak Kurnia maksud ini terstruktur dan terorganisir atau tidak?
K: (Tambah blank) Maksudnya seperti apa, pak?
IN3: Yah, misalnya.... Ada perencanaan yang matang atau tidak, ada evaluasi atau tidak, ada koordinasi dengan pihak lain atau tidak, atau tiba-tiba tercetus ide itu lalu jalankan.
K: Waktu itu saya dan teman-teman hanya berdiskusi sebentar lalu disepakati ide tersebut, dan langsung dijalankan pak.
IN3: Berarti tidak terorganisir ya?
K: Tidak, pak. (Mulai lemas)
IN3: Apa kontribusi yang pernah mbak Kurnia lakukan selama ini untuk masyarakat?
K: Saya pernah jadi guru mengaji, pak. (Ini jawaban macam apa, ya Tuhan?)
IN3: Tidak pernah terlibat dalam komunitas atau organisasi kemasyarakatan?
K: Oh, iya, pak. Saya tergabung dalam komunitas Buku untuk Anak Indonesia. Ini komunitas nasional yang program kerjanya menerbitkan buku-buku bacaan anak untuk nantinya dibagikan secara gratis ke TBM-TBM terdaftar di seluruh Indonesia.
IN3: Mbak Kurnia, dari beberapa pertanyaan yang tadi, saya belum bisa menyimpulkan rencana masa depan mbak Kurnia seperti apa.
K: (Keringat dingin) Bapak belum bertanya soal rencana masa depan saya.
IN3: Lho, tadi kan bu IN2 sudah bertanya, apa ekspektasi setelah studi, dan dijawab akan kembali ke Yayasan, kalau belum ada guru yang menggantikan ya jadi guru di sana, kalau sudah ada yang mengganti lantas mau cari beasiswa S3. Dari sini kan kami belum bisa tahu, apa rencana ke depan mbak Kurnia untuk Indonesia. (Skakmat!)
K: Oh, iya, pak. Saya juga punya plan kedua. Plan kedua saya, saya ingin menjadi dosen bidang keilmuan komunikasi sekaligus peneliti, pak.
IN3: Kapasitas apa yang mbak Kurnia miliki sehingga merasa pantas menjadi dosen?
K: Saya orang yang sangat senang berbagi, pak, entah hanya berbagi saran atau ide maupun berbagi hal lain yang lebih besar.
IN3: Bagaimana saya bisa membuktikan bahwa mbak Kurnia adalah orang yang suka berbagi?
K: (Bingung) Dengan menjadi guru bukankah saya berbagi ilmu setiap hari, bapak?
IN3: Menjadi guru itu kan karena tugas. Ada tidak hal lain yang menunjukkan bahwa mbak Kurnia suka berbagi?
K: Saya berencana akan menyelenggarakan kursus pembuatan blog dan website gratis untuk anak yatim, pak.
IN3: Tapi itu belum terlaksana, kan?
K: Belum, pak. (Lunglai lah saya. Sebenarnya saya mau bilang "saya adalah tempat curhat teman-teman sejak MTs sampai kuliah, pak. Teman-teman yang kesulitan pelajaran pun selalu saya bantu tanpa pamrih". Tapi saya malu sekali kalau harus bilang seperti ini.)
IN3: Oke, menurut mbak Kurnia, apa kelebihan yang Anda miliki?
K: Saya orangnya pekerja keras dan tidak tahan banting, pak. (Ini blunder ketiga dan terkonyol saya sepanjang hari ini.)
IN3: (Berhenti mengetik dan mengernyit dalam-dalam) Tidak tahan banting?
K: Iya, pak. Tidak tahan banting. (Ya Allah....)
IN3: Kalau kekurangannya?
K: Saya perfeksionis, pak. Kadang sifat ini menguntungkan, kita bisa mendapat hasil yang maksimal, tapi sering sekali menguras tenaga dan pikiran.
IN3: (Terus mengetik, lalu memberi isyarat ke bu Hendri.)
IN1: Oh, ya, mbak Kurnia. Kita belum sempat bertanya dalam bahasa Inggris. (Saya tersenyum pahit) Okay, Kurnia, now the question is in English. Please tell us about your student.
K: (Saya lalu bercerita dalam bahasa Inggris soal peserta didik saya di SMK Islam Al-Qomar, dengan grammar yang pastinya akan membuat tutor saya di Kampung Inggris menutup muka karena malu, atau menutup mulut karena cekikikan. Saya cerita tentang siswa-siswi yang kebanyakan tinggal di pesantren sehingga ikatan kekeluargaan mereka tetap kuat bahkan bertahun-tahun setelah lulus.)
IN3: Baik, mbak Kurnia. Wawancara ini secara resmi kami akhiri. Kami tidak memberikan statemen apapun terkait hasil seleksi ini. Silakan teruskan kegiatan yang menurut mbak Kurnia baik dan bermanfaat untuk Indonesia. Terima kasih. (Recorder dimatikan)
K: Terima kasih, pak, bu.
Saya salami ketiga pewawancara tersebut, lalu bergegas keluar. Di dekat pintu saya diberi tahu panitia untuk mengisi survey online terkait seleksi substansi, lalu kartu peserta saya diberikan kembali. Saya keluar ruangan dengan perasaan amat tidak puas.
Saat dibonceng suami dalam perjalanan pulang, saya ceritakan sebagian wawancara tersebut ke suami. "Masa waktu ditanya kelebihan dan aku jawab tidak tahan banting, bapak interviewernya merasa aneh?"
"Ya jelas aneh. YANG BETUL ITU TAHAN BANTING, BUKAN TIDAK TAHAN BANTING."
Ya Allah ya Rabbi, lemaslah rasanya seluruh persendian. Jadi tadi saya menjawab dengan makna 180 derajat berbeda? Tahan banting dan tidak tahan banting, bedanya bagaikan langit dengan bumi. Apa jadinya wawancara saya, ya Tuhan?
Izinkan saya memberi tahu kalian satu hal, kawan. Kita boleh saja mencari tips dan trik wawancara sampai hapal di luar batok kepala, tapi begitu duduk di depan interviewer, rontok rasanya semua kalimat yang sudah dipersiapkan. Yang tersisa tinggal diri kita sendiri tanpa polesan.
Wawancara saya berlangsung sekitar 40 menit, dan ada tiga keseleo lidah yang saya lakukan. Kesalahan ini membuat saya merutuki diri selama beberapa hari ke depannya. Ya sudahlah, apapun hasilnya, saya pasrah. Kalau memang rezekinya, pasti beasiswa LPDP tak akan kemana. Kalau belum rezeki, mau dikejar sampai ke Antartika pun tak akan dapat. Dengan pemikiran seperti ini, saya lewati waktu lebih dari sebulan, sebelum tiba waktunya pengumuman final seleksi substansi.
Hayya 'alal falaah. Mari menuju kemenangan.
IN1: (Mengangguk-angguk) Di aplikasi pendaftaran, mbak Kurnia menulis riwayat pekerjaan yang cukup banyak. Apa saja, mbak, boleh disebutkan?
K: Termasuk kerja part time, bu?
IN1: Termasuk part time.
K: (Saya lalu menyebutkan kerjaan saya, sebagian besar di antaranya part time, mulai tahun 2010 sampai 2014 di berbagai tempat).
IN1: Wah, itu sambil mengerjakan skripsi juga ya?
K: Iya bu, sambil skripsi juga.
IN1: Apa pertimbangannya kuliah sambil bekerja? Bagaimana pembagian waktunya?
K: Saya kuliah dengan dibiayai Yayasan, bu, namun biaya hidup belum termasuk. Saya bekerja sambil kuliah untuk membantu orangtua mengongkosi biaya hidup saya di Yogya. Mengenai waktu, alhamdulillah tidak masalah, bu. Sebagian pekerjaan yang saya lakukan sifatnya freelance, jadi bisa saya kerjakan dari rumah dan waktunya menyesuaikan jadwal kuliah. Sebagian yang lain, saya kerja sore sekitar pukul lima sore sampai sembilan malam.
IN1: Di sini juga ditulis Google Adsense sampai tahun 2018. Sekarang sudah tidak lagi?
K: Sebenarnya masih bu, tapi karena di aplikasi pendaftaran tidak bisa menulis dobel pekerjaan yang dilakukan pada saat ini (pekerjaan on going saya sudah tertulis "guru" di SMK Islam Al-Qomar), jadinya Google Adsense saya tulis sampai 2018 saja.
IN1: Apa saja websitenya, kalau boleh tahu?
K: (Saya sebutkan beberapa web GA saya, termasuk ketika masih jadi content writer).
IN1: (Mengangguk-angguk lagi, lalu menoleh ke IN2 dan melanjutkan membaca bendelan saya.)
IN2: Baik. Mbak Kurnia, di aplikasi pendaftaran Anda menulis sekian capaian yang bisa dianggap sebagai prestasi Anda. Nah, menurut mbak Kurnia, mana prestasi paling besar yang pernah Anda peroleh?
K: Bagi saya, bisa lulus kuliah adalah prestasi terbesar saya, bu.
IN2: Oh ya? Gimana gimana? Tolong ceritakan.
K: (Di sini saya cerita panjang lebar soal kegagalan saya meraih Bidik Misi tahun 2010 lalu, karena ketidaktahuan saya dalam memilih prodi tujuan. Saya lulusan Madrasah Aliyah jurusan IPS, dan dengan pedenya memilih prodi Teknik Informatika di UNY. Bahkan seleksi administrasi saja sudah tak lolos. Saya juga cerita soal beasiswa S1 yang akhirnya saya dapatkan dari Yayasan Sunan Kalijaga Pakuncen dan latar belakang keluarga saya yang masih tergolong prasejahtera. Cerita ini memakan waktu sekitar 10-15 menit. Sambil bercerita, sesekali ibu interviewer yang saya yakini sebagai psikolog ini memberi tanggapan. Agaknya saya didorong ke mood baper gitu, hahaha....)
IN2: Pekerjaan mbak Kurnia sebagai guru, ya? Apa kesibukannya selain mengajar?
K: Saya dan suami membuka usaha advertising dan warung kopi, bu. Selain itu saya juga merintis pendirian Taman Baca Masyarakat di lokasi yang sama dengan tempat usaha. (Setelah ini, interviewer banyak bertanya soal usaha saya, termasuk kendala-kendalanya, caranya mengatasi kendala itu, dan bagaimana usahanya nanti jika saya lanjut studi ke Yogya bersama suami. Lebih terasa seperti bercakap-cakap biasa daripada wawancara.)
IN2: Dari mana mbak Kurnia tahu soal beasiswa LPDP?
K: Saya tahu beasiswa ini sejak 2014 bu, karena dosen saya ada yang menjadi reviewer LPDP pada bidang keilmuan agama. Saya didorong untuk mendaftar beasiswa ini begitu lulus pada 2014, tapi saya merasa perlu pulang dulu ke Yayasan. Akhirnya saya baru daftar tahun ini.
IN2: Apa tujuan mbak Kurnia mendaftar beasiswa ini?
K: Saya berasal dari keluarga kurang mampu, bu, sehingga saya harus mendaftar beasiswa jika ingin lanjut studi ke jenjang S2. Saya ingin menjadi diri saya yang terbaik, the best of me, dengan beasiswa ini. (Ini blunder saya yang pertama. Jawaban yang sebenarnya saya niatkan adalah "saya ingin membekali diri dengan keilmuan yang cukup, agar bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat dan Indonesia".)
IN2: Pertanyaan terakhir dari saya. Apa ekspektasi mbak Kurnia setelah nanti mendapatkan beasiswa ini dan selesai studi?
K: Saya akan kembali ke Yayasan, bu, mengabdi lagi di SMK Islam Al-Qomar sebagai guru produktif Multimedia. Namun jika ternyata sudah ada guru pengganti saya, maka saya akan mempersiapkan diri untuk studi lanjut ke S3. (Ini adalah blunder saya yang terburuk. Interviewer kelihatan kecewa dengan jawaban saya. Padahal jawaban yang sudah saya persiapkan adalah "saya ingin menjadi dosen dan peneliti yang hasil penelitiannya dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan oleh pemerintah, sehingga manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat". Nasib. Setelah pertanyaan ini, bapak interviewer 3 mengambil alih.)
IN3: Oke, mbak Kurnia. Tadi ibu Hendri dan ibu ..... sudah memberikan pertanyaan. Nah, mbak Kurnia, pertanyaan pertama dari saya. Apa inovasi yang telah dilakukan oleh mbak Kurnia selama ini?
K: (Saya langsung mati gaya di sini. Kata "inovasi" membuat saya blank. Akhirnya setelah dua tiga menit terdiam, saya baru menjawab.) Saya tidak tahu ini tergolong inovasi atau tidak, tapi saya akan ceritakan saja pada bapak. (Lalu saya bercerita soal menghidupkan kembali TPA di kecamatan Jatikalen yang mati suri, antara lain dengan menerapkan cara mengaji menyenangkan pada anak-anak, seperti diselingi nonton video, cerita Nabi, dan sebagainya. Padahal, seharusnya saya punya beberapa hal lain yang boleh dikategorikan sebagai inovasi, seperti cara pembelajaran proyek yang kerap saya terapkan di sekolah.)
IN3: Apakah inovasi yang mbak Kurnia maksud ini terstruktur dan terorganisir atau tidak?
K: (Tambah blank) Maksudnya seperti apa, pak?
IN3: Yah, misalnya.... Ada perencanaan yang matang atau tidak, ada evaluasi atau tidak, ada koordinasi dengan pihak lain atau tidak, atau tiba-tiba tercetus ide itu lalu jalankan.
K: Waktu itu saya dan teman-teman hanya berdiskusi sebentar lalu disepakati ide tersebut, dan langsung dijalankan pak.
IN3: Berarti tidak terorganisir ya?
K: Tidak, pak. (Mulai lemas)
IN3: Berarti mbak Kurnia orangnya sering melakukan hal yang tidak terencana?
K: Bukan begitu, pak. Dalam hal ini kami dituntut cepat-cepat mengambil keputusan karena waktu PKLD (Praktek Kerja Lapangan dan Dakwah) kami hanya seminggu di sana.
IN3: Selama ini mbak Kurnia selalu merencanakan dulu tindakan yang akan diambil atau tidak?
K: Sebagian besar, iya, pak. Saya ketika MTs pernah membuat target hidup 5 dan 10 tahun mendatang.
IN3: Berarti sekarang tidak lagi buat target itu?
K: Belum sempat, pak.
IN3: Apa kontribusi yang pernah mbak Kurnia lakukan selama ini untuk masyarakat?
K: Saya pernah jadi guru mengaji, pak. (Ini jawaban macam apa, ya Tuhan?)
IN3: Tidak pernah terlibat dalam komunitas atau organisasi kemasyarakatan?
K: Oh, iya, pak. Saya tergabung dalam komunitas Buku untuk Anak Indonesia. Ini komunitas nasional yang program kerjanya menerbitkan buku-buku bacaan anak untuk nantinya dibagikan secara gratis ke TBM-TBM terdaftar di seluruh Indonesia.
IN3: Mbak Kurnia, dari beberapa pertanyaan yang tadi, saya belum bisa menyimpulkan rencana masa depan mbak Kurnia seperti apa.
K: (Keringat dingin) Bapak belum bertanya soal rencana masa depan saya.
IN3: Lho, tadi kan bu IN2 sudah bertanya, apa ekspektasi setelah studi, dan dijawab akan kembali ke Yayasan, kalau belum ada guru yang menggantikan ya jadi guru di sana, kalau sudah ada yang mengganti lantas mau cari beasiswa S3. Dari sini kan kami belum bisa tahu, apa rencana ke depan mbak Kurnia untuk Indonesia. (Skakmat!)
K: Oh, iya, pak. Saya juga punya plan kedua. Plan kedua saya, saya ingin menjadi dosen bidang keilmuan komunikasi sekaligus peneliti, pak.
IN3: Kapasitas apa yang mbak Kurnia miliki sehingga merasa pantas menjadi dosen?
K: Saya orang yang sangat senang berbagi, pak, entah hanya berbagi saran atau ide maupun berbagi hal lain yang lebih besar.
IN3: Bagaimana saya bisa membuktikan bahwa mbak Kurnia adalah orang yang suka berbagi?
K: (Bingung) Dengan menjadi guru bukankah saya berbagi ilmu setiap hari, bapak?
IN3: Menjadi guru itu kan karena tugas. Ada tidak hal lain yang menunjukkan bahwa mbak Kurnia suka berbagi?
K: Saya berencana akan menyelenggarakan kursus pembuatan blog dan website gratis untuk anak yatim, pak.
IN3: Tapi itu belum terlaksana, kan?
K: Belum, pak. (Lunglai lah saya. Sebenarnya saya mau bilang "saya adalah tempat curhat teman-teman sejak MTs sampai kuliah, pak. Teman-teman yang kesulitan pelajaran pun selalu saya bantu tanpa pamrih". Tapi saya malu sekali kalau harus bilang seperti ini.)
IN3: Oke, menurut mbak Kurnia, apa kelebihan yang Anda miliki?
K: Saya orangnya pekerja keras dan tidak tahan banting, pak. (Ini blunder ketiga dan terkonyol saya sepanjang hari ini.)
IN3: (Berhenti mengetik dan mengernyit dalam-dalam) Tidak tahan banting?
K: Iya, pak. Tidak tahan banting. (Ya Allah....)
IN3: Kalau kekurangannya?
K: Saya perfeksionis, pak. Kadang sifat ini menguntungkan, kita bisa mendapat hasil yang maksimal, tapi sering sekali menguras tenaga dan pikiran.
IN3: (Terus mengetik, lalu memberi isyarat ke bu Hendri.)
IN1: Oh, ya, mbak Kurnia. Kita belum sempat bertanya dalam bahasa Inggris. (Saya tersenyum pahit) Okay, Kurnia, now the question is in English. Please tell us about your student.
K: (Saya lalu bercerita dalam bahasa Inggris soal peserta didik saya di SMK Islam Al-Qomar, dengan grammar yang pastinya akan membuat tutor saya di Kampung Inggris menutup muka karena malu, atau menutup mulut karena cekikikan. Saya cerita tentang siswa-siswi yang kebanyakan tinggal di pesantren sehingga ikatan kekeluargaan mereka tetap kuat bahkan bertahun-tahun setelah lulus.)
IN3: Baik, mbak Kurnia. Wawancara ini secara resmi kami akhiri. Kami tidak memberikan statemen apapun terkait hasil seleksi ini. Silakan teruskan kegiatan yang menurut mbak Kurnia baik dan bermanfaat untuk Indonesia. Terima kasih. (Recorder dimatikan)
K: Terima kasih, pak, bu.
Saya salami ketiga pewawancara tersebut, lalu bergegas keluar. Di dekat pintu saya diberi tahu panitia untuk mengisi survey online terkait seleksi substansi, lalu kartu peserta saya diberikan kembali. Saya keluar ruangan dengan perasaan amat tidak puas.
Saat dibonceng suami dalam perjalanan pulang, saya ceritakan sebagian wawancara tersebut ke suami. "Masa waktu ditanya kelebihan dan aku jawab tidak tahan banting, bapak interviewernya merasa aneh?"
"Ya jelas aneh. YANG BETUL ITU TAHAN BANTING, BUKAN TIDAK TAHAN BANTING."
Ya Allah ya Rabbi, lemaslah rasanya seluruh persendian. Jadi tadi saya menjawab dengan makna 180 derajat berbeda? Tahan banting dan tidak tahan banting, bedanya bagaikan langit dengan bumi. Apa jadinya wawancara saya, ya Tuhan?
Izinkan saya memberi tahu kalian satu hal, kawan. Kita boleh saja mencari tips dan trik wawancara sampai hapal di luar batok kepala, tapi begitu duduk di depan interviewer, rontok rasanya semua kalimat yang sudah dipersiapkan. Yang tersisa tinggal diri kita sendiri tanpa polesan.
Wawancara saya berlangsung sekitar 40 menit, dan ada tiga keseleo lidah yang saya lakukan. Kesalahan ini membuat saya merutuki diri selama beberapa hari ke depannya. Ya sudahlah, apapun hasilnya, saya pasrah. Kalau memang rezekinya, pasti beasiswa LPDP tak akan kemana. Kalau belum rezeki, mau dikejar sampai ke Antartika pun tak akan dapat. Dengan pemikiran seperti ini, saya lewati waktu lebih dari sebulan, sebelum tiba waktunya pengumuman final seleksi substansi.
Hayya 'alal falaah. Mari menuju kemenangan.
Mengejar LPDP Part XI: Seleksi Substansi - Wawancara
Reviewed by Kurnia Indasah
on
15:20
Rating:
Tidak ada komentar